Saturday, February 5, 2011

Semakin Dilihat Semakin Jauh


Selimut malam tersingkap perlahan, sambut pagi cerahkan hari yang kelabu, memikul nestapa yang tiada berepisod, merangkai tanya yang tak terjamah jawapan, diri yang kelana bersejadah kusam, iringi zikir dengan lonceng cengkerik malam, mengayuh harap menembus batas alam, walau damai enggan berpihak lantaran jiwa terkalam pilu dalam nuansa yang semakin gelap.

Kupandang langit yang tak terbatas, semakin dipandang semakin tak terpandang. Kujalani hidup dengan kehendak yang ada, semakin kujalani semakin tak berkehendak.

Terjagalah jiwa dalam irama kesedaran, ternyata aku salah memahami cinta, aku keliru menyandarkan jiwa.

Ya Rabbi... ajari aku tentang Cinta dengan Cinta.

Aku paham. Aku tak mungkin mengerti kerana Cinta tak dapat di mengerti, banyak manusia merasa mengerti, semakin merasa semakin tak mengerti. Diantara mereka ada yang mengatas namakan cinta lalu membangun rumah tangga diatas cinta, namun kemudian mereka berkelahi, bergaduh dan saling menyakiti. Kemana kini perginya Cinta..?

Sibuta bertongkat menyisir jalan, lanjutkan perjuangan atas nama cinta, olehnya itu dia mengemis, mendandani dirinya sebagai manusia yang pantas di kasihani, merendah dan menggadai harga diri. Ia telah membinasakan esensi (inti ) Cinta dalam dirinya lalu berharap akan diberikan Cinta. Adakah perbezaan Cinta dalam dirinya dengan yang Ia harapkan.? Bukankah Cinta adalah Cinta,,?

Cahaya mentari hangatkan bumi, hangatkan juga negeriku yang kelabu, lantaran rakyat ingin menjadi raja, lalu mengutuk, menghujat dan tak lagi percaya pada pemimpinnya, lantaran pemimpin tak pandai memahami cinta di hati rakyat.

Kami bukanlah sekedar rakyat, tapi kami adalah kedaulatan. Kami juga bukan sekedar kumpulan manusia, tapi kami adalah esensi sebuah bangsa, kami adalah pertikel-pertikel energi yang membentuk dimensi wajah bangsa dalam substansi Malaysia Surgawi.

Saudaraku... Aku ingin berbisik, mungkin itu lebih membuatmu mendengar kerana aku bersuara dalam kelembutan. Lihatlah, betapa diluar sana mereka bersuara dalam semangat yang berapi-api tapi suara mereka tak didengar. Mereka mungkin harus berbisik tapi mereka tidak percaya kerana bagi mereka kerasnya suara, menggelegarnya nada bicara, itu adalah kekuatan. Pahamkah mereka kalau itu bukanlah kekuatan.? Kerana kekuatan itu ada dalam Cinta, dan Cinta itu mengalir dalam irama kelembutan.

Sahabat ceriaku bertanya padaku di nuansa Facebook ; ” Aku tak mengerti dengan Cinta, aku jalani saja, bahkan aku menikahpun kerana aku fikirkan dia calon yang tepat”

Bagus, bisik saya.. Cinta memang tidak untuk dimengerti kerana memang tak sanggup untuk dimengerti, Cinta cukup dirasakan lalu dijalani dengan hati. Pandanglah langit, seperti itulah melihat Cinta, semakin tak terpahami. Lalu jalanilah hidupmu, mengertikah kamu dengan hidupmu? Kamu merasakan hidupmu tapi tidak mengerti dengan hidupmu, Itulah Cinta, rasakan dan jalani seperti air mengalir. Adam merasa memahami cinta olehnya Ia pun terusir dari surga lalu menempati bumi, Iblis sang spiritual sejati, paling dekat dengan sumber Cinta Sejati, kerana merasa mengenal Cinta akhirnya Ia berpendapat atas nama Cinta yang membuatnya dikutuk, dilaknat dan tidak memiliki rasa sedikitpun tentang Cinta

”Terus bagaimana agar aku mengerti tentang Cinta..?”

Cinta adalah cinta, kerana hakikatnya adalah Cinta, tidak tersentuh oleh sebutir pertikel kebencian sedikitpun, Ia bersumber dari yang maha Cinta tapi tidak terpisahkan dari sumbernya, Ia adalah esensi dari keberadaan, Ia adalah makna penciptaan alam semesta ini, jika demikian Cinta adalah Kesejatian, dan dibahasakan oleh manusia utusan langit (nabi dan rasul) sebagai Tuhan.

”Saya selalu menempatkan ALLAH sebagai nombor satu,” Respon sahabat saya.

Tanpa nombor satu, ALLAH tetaplah satu, olehnya jangan diberi nombor, kerana bertendensi pada urutan nombor yang lainnya. Tuhan tidak boleh disejajarkan walau dengan nombor yang teratas sekalipun. Olehnya jalanilah hidupmu dengan hati, mengalir dalam irama alam, maka kamu akan merasakan Cinta.

Suatu hari plato bertanya pada gurunya Socrates

”Guru ajari saya Cinta.”

Sang guru lantas menyuruhnya pergi kedalam hutan untuk mencari sebatang ranting yang dianggap paling lurus, tapi ingat syaratnya adalah ; ”satu kali memilih dan jangan kembali pada pilihan yang lalu.”

Plato menelusuri hutan dan mencuba mencari ranting kayu yang dianggap lurus. Pertama dia menemukan sebuah ranting yang pas dihatinya, tetapi kemudian dia membuangnya kerana berfikir masih akan ada ranting-ranting didepan sana yang lebih baik dan lurus, dan juga kerana hutan yang masih begitu luas. Semakin jauh plato berjalan Ia hanya mengulang adegan yang sama seperti ranting yang pertama kali Ia temukan, Ia pun kembali ke gurunya dengan tidak membawa sebatang rantingpun.

Didepan gurunya Ia menuturkan kalau Ia tidak menemukan apa-apa. Sebenarnya plato sudah mendapati beberapa ranting yang menurutnya lurus, tetapi Ia berfikir masih akan ada ranting lain yang lebih baik didepan, dan ketika Ia sampai pada batas hutan Ia baru menyadari kalau Ia tidak menemukan apa-apa, Ia teringat dengan beberapa ranting sebelumnya yang pas dihatinya maka terlintas keinginan untuk kembali kebelakang dan mengambilnya, akan tetapi Ia teringat pesanan gurunya ” Jangan kembali pada pilihan yang lalu” yakni pilihan yang sudah terlewatkan. Gurunya pun bertutur ;

Guru :
Itulah Cinta. Seharusnya kamu tempatkan Cinta dihatimu untuk kamu rasakan, akan tetapi kamu menempatkannya pada nalar logikamu, olehnya kamu tidak menemukan apa-apa.”

Realitinya adalah, betapa manusia terlalu memilih pada sisi nalar sehingga waktu mereka habis hanya untuk membandingkan segala sesuatu tanpa pernah berhenti untuk merasakan sesaat akan suatu keadaan dengan suka cita, selanjutnya merekapun luput dari keinginan berterimakasih pada alam semesta.

Disisi lain, manusia dalam mencari pasangan hidupnya terlalu terobsesi pada standar-standar ketetapan yang diciptakan oleh alam pikirnya yang lahir dari interaksi indra dan egosentris dan membuat manusia lebih banyak memilih dan memilah namun sedikit dalam rasa, akhirnya banyak yang tidak menemukan pasangan hidupnya. Jika sudah diambang batas usia, merekapun semakin gelisah. Lantas haruskah mereka meraih sembarang ranting yang ada?

Pada sebuah kesempatan yang lain, Plato kembali bertanya pada gurunya ;
”Guru, Ajari saya tentang perkahwinan.”

Sang guru lantas menyuruhnya pergi kedalam hutan untuk menemukan sebuah pohon yang dianggap paling rendang dan lebat, syaratnya adalah sama dengan ketika Plato mencari ranting yang lurus.

Plato menelusuri hutan dan mencuba mencari pohon yang paling lebat dan rendang menurutnya. Setelah menemukan sebatang pohon yang pas dihatinya Ia pun kembali menghadap gurunya. Ia menyampaikan kalau Ia sudah menemukan pohon yang rendang dan lebat, akan tetapi ada yang aneh dalam perjalanan pulang, yakni plato melihat beberapa pohon lainnya yang ternyata lebih lebat, lebih rendang dan lebih indah dari pilihan dia sebelumnya, terlintas keinginan untuk merubah pilihannya akan tetapi Ia teringat akan pesan gurunya yakni ; ”hanya satu kali memilih”, gurunyapun bertutur ;

Guru :
Itulah perkahwinan, seharusnya kamu menjalankannya dengan hati sehingga dapat merasakan makna dari perkahwinan, tetapi kamu menjalankannya denga logika pikiranmu, olehnya kamu sibuk membandingkan apa yang kamu miliki dengan berbagai hal diluar sana termasuk pasangan hidupmu.

Realitinya adalah betapa manusia menjalani hidup yang dikendalikan oleh akal pikiran yang terproses dari interaksi indrawi, maka lahirlah perbandingan akan apa yang ada pada pasangan hidupnya dengan yang ada pada peribadi yang lain, ini adalah sebagian dari sebuah awal akan lahirnya berbagai kegagalan dalam rumah tangga, yang umumnya berdalil pada alasan semu dan naif ”Ketidak-Sesuaian”.

Tidak sesuai hadir kerana proses logika dan nalar, sementara hati adalah sumber tautan Cinta dari sumber Cinta sejati. Hati yang tercahayakan akan merespon segala sesuatu dengan kesejukan dan bermuara pada kedamaian.

Nalar merespon segala sesuatu dengan ukuran dan bermuara pada perbezaan, perbezaan inilah yang tidak boleh direspon oleh hati kerana hati telah karam dalam kegelapan, hati yang tidak pernah diasah atau diarahkan untuk menemukan cahayanya.

Saudaraku.. masih dengarkah kamu dengan bisikanku..? bertanyalah jikalau memang harus bertanya, tetapi bertanyalah untuk memahami dan saling mengisi, dan jangan pernah bertanya dalam jawaban.

Sohibku, ketika sehelai daun kering terpisah dari ranting, ia pun jatuh ketanah dalam suka cita yang abadi, kejatuhannya bahkan dicatat dalam buku catatan Ilahi kerana terjadi atas kehendak Tuhan, ia jatuh kerana ia telah selesai menjalankan tugasnya dalam merespon cahaya matahari, ia harus kembali menuju ketiadaan, alam akan membentuknya (menjadi sampah menurut logika) dan meresapkannya kedalam tanah menjadi pupuk lalu ia ditarik oleh akar-akar kehidupan untuk melahirkan sebuah karya cipta yang lebih indah dalam nuansa Maha Karya, ia mempunyai kesempatan untuk bersemi dengan setiap pertikel-pertikelnya, boleh sebagai kuntum bunga nan indah sehingga sarinya mengundang lebah, lalu bersama lebah ia pun menjadi madu surgawi, kemanakah semuanya bermuara? Pahamkah kita akan segala prosesnya? Mengertikah kita jika semua ini kerana Cinta adanya dan bermuara pada tugas melayani manusia dengan segala kebutuhannya. Kerana manusia adalah esensi dari kesempurnaan alam semesta.

Jika semua dapat dipahami dengan bijak, maka manusia akan lebih memilih diam. Dan dalam diamnya Ia memahami Cinta yang sesunguhnya, Ia pun akan kehilangan akal dan nalar, lalu kehilangan dirinya sendiri, Ia sudah menjadi cinta itu sendiri. Ia bahkan tidak berhasrat melihat ke negeri surga, kerana apa yang Ia lakukan adalah kerana Cinta sang Sejati, namun jika masih ada manusia yang dibakar di neraka, Ia mau menggantikan posisinya dengan alasan Cinta yang kerana Cinta adanya.

Ia bukanlah perindu surgawi yang letaknya dibawah telapak kaki wanita, Kerana Ia telah menjadi sebab manusia berhijrah ke surga.

Ia bicara tanpa suara, Ia berjalan tanpa jejak, Ia tersenyum tanpa riwayat.

Dan kini Ia telah memindahkan surga dari telapak kaki wanita-wanita yang tak memahami hakikat hidup, jika semua wanita di bumi suda tidak memahami hakikat hidup maka tak tersisa satupun pintu surga, lantaran surga dibangun dari lentik lembut bulu mata wanita yang merekah cemerlang dalam tatapan halus nan tulus, lalu mengukir senyuman penuh gelora dan menembus seribu batas kepenatan.

Pahamkah kita dengan makhluk yang bernama wanita ? Dia lah pemilik sifat Tuhan secara syariat dan hakikat, kerana rahimnya bumi ini berotasi dalam Cinta. Pujangga sejagad memahat hatinya dalam bait cerita kehidupan, kerana kehidupan tak akan hidup tanpa desah nafas wanita.

Bumi bernafas dengan nafas wanita, olehnya bumi kuat dalam sabar, juga subur dalam Cinta, taburlah apapun di bumi maka ia akan tumbuh, walaupun batu karang yang terpasak, bumi memolesnya menjadi gunung.

Bumi berputar seirama detak nadi wanita, dalam detak nadi wanita ada makna Cinta yang terpatri, oleh kerana itu bumi adalah Ibu bagi apapun diatasnya sebagaimana wanita menjadi Ibu dari apapun bentuk dan warna karakter manusia.

Demikian wanita, yang padanya tertitip keindahan tubuh nan gemulai dibaliknya ada Cahaya Ilahi, sehingga wajib untuk ditutupi lalu diberi nama aurat. Demikian adanya bumi yang molek dan indah diselimuti energi cinta yang diberi nama Ozon. Jadilah manusia makna bumi seperti yang terpahat dalam syair-syair Zarathustra, manusia makna bumi adalah manusia yang penuh kelembutan dalam keperkasaan yang bijaksana. Manusia yang memahami visi hidup yang sesunguhnya.

Akhirnya, jika sampai pada ambang batas pemikiran, maka semuanya akan menyadari tentang keberadaannya untuk mengarungi arah yang telah ditentukan.

Mengalirlah seperti sungai menuju muara dan menyatu kedalam lautan Cinta yang abadi, kerana asal sungai adalah lautan.

Sanggupkah kamu melihat perbezaan antara sungai dan lautan jika telah menyatu.? Itulah Cinta yang sesungguhnya. Wassalam..

No comments: